1. Sosiologi
1.1. Definisi Sosiologi dan
Sifat Hakikatnya
Merumuskan suatu
definisi (batasan makna) yang dapat mengemukakan keseluruhan pengertian, sifat,
dan hakikatnya yang dimaksud dalam beberapa kata dan kalimat merupakan hal yang
sangat sukar. Oleh sebab itu, suatu definisi hanya dapat dipakai sebagai suatu
pegangan sementara saja. Sungguhpun penyelidikan berjalan terus dan ilmu pengetahuan
tumbuh kearah pelbagai kemungkinan, masih juga diperlukan suatu pengertian yang
pokok dan menyeluruh. Untuk patokan sementara, akan diberikan beberapa definisi
sosiologi sebagai berikut.
a. Pitirim Sorokin
mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:
1) Hubungan
dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala social (misalnya
antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral, hokum dengan
ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dan lain sebagainya);
2) Hubungan
dan pengaruh timbal balik antara gejala social dengan gejala-gejala nonsosial
(misalnya gejala geografis, biologis, biologis, dan sebagainya);
3) Cirri-ciri
umum semua jenis gejala-gejala social
b. Roucek dan Warren
mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara
manusia dalam kelompok-kelompok.
c. William F. Ogburn
dan Meyer F. Nimkoff berpendapat
bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi social dan
hasilnya yaitu organisasi social.
d. J.A.A van Doorn
dan C.J. Lammers berpendapat bahwa
sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses
kemasyarakatan yang stabil.
e. Selo Soemardjan
dan Soelaeman Soemardi menyatakan
bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur
social dan proses-proses social, temasuk perubahan-perubahan social.
Apabila sosiologi ditelaah dari sudut sifat
hakikatnya, maka akan dijumpai beberapa petunjuk yang akan dapat membantu untuk
menetapkan ilmu pengetahuan macam apakah sosiologi itu. Sifat-sifat hakikatnya
adalah sebagai berikut:
a. Sosiologi merupakan suatu ilmu
social dan bukan merupakan ilmu pengetahuan alam ataupun ilmu pengetahuan
kerohanian. Pembedaan tersebut bukanlah pembedaan
mengenai metode, tetapi menyangkut pembedaan isi, yang gunanya untuk membedakan
ilmu-ilmu pengetahuan yang bersangkut-paut dengan gejala-gejala alam dengan
ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan gejala-gejala kemasyarakatan.
Khususnya, pembedaan tersebut di atas membedakan sosiologi dari astronomi,
fisika, geologi, biologi dan ilmu pengetahuan alam lain yang dikenal.
b. Sosiologi bukan merupakan
disiplin yang normatif tetapi merupakan
suatu disiplin yang kategoris, artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang
terjadi dewasa ini dan bukan mengenai apa yang terjadi atau seharusnya terjadi.
Sebagai suatu ilmu pengetahuan, sosiologi membatasi diri terhadap persoalan
penilaian. Artinya sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya
berkembang dalam arti memberikan petunjuk-petunjuk yang menyangkut
kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut.
c. Sosiologi merupakan ilmu
pengetahuan yang murni (pure science) dan bukan merupakan ilmu pengetahuan terapan
atau terpakai (applied science). Perlu dicatat bahwa
dari sudut penerapannya, ilmu pengetahuan dipecah menjadi dua bagian, yaitu
ilmu pengetahuan murni. Ilmu pengetahuan murni adalah ilmu pengetahuan yang
bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak
hanya untuk mempertinggi mutunya, tanpa mengguanakannya dalam masyarakat. Ilmu
pengetahuan terapan adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mempergunakan
dan menerapkan ilmu pengetahuan terseut dalam masyarakat dengan maksud membantu
kehidupan masyarakat. Tujuan sosiologi adalah untuk mendapatkan pengetahuan
yang sedalam-dalamnya tentang masyarakat, dan bukan untuk mempergunakan
pengetahuan tersebut terhadap masyarakat.
d. Sosiologi merupakan ilmu
pengetahuan yang abstrak dan bukan merupakan ilmu pengetahuan yang kongret. Artinya,
bahwa yang diperhatikannya adalah bentuk dan pola-pola peristiwa dalam
masyarakat, tetapi bukan wujudnya yang kongret.
e. Sosiologi bertujuan untuk
menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum.
Sosiologi meneliti dan mencari apa apa yang menjadi prinsip atau hokum-hukum
umum dari interaksi antar manusia dan juga perihal sifat hakikat, bentuk, isi,
dan struktur masyarakat manusia.
f. Sosiologi merupakan ilmu
pengetahuan yang empiris dan rasional. Ciri tersebut
menyangkut soal metode yang dipergunakannya yang selanjutnya akan diterangkan
pada bab mengenai metode-metode sosiologi.
g. Sosiologi merupakan ilmu
pengetahuan yang umum dan bukan merupakan ilmu pengetahuan yang khusus.
Artinya, sosiologi mempelajari gejala yang ada pada setiap interaksi antar
manusia. Didalam semua bidang atau gejala kehidupan, apakah bidang ekonomi,
politik, agama dan lain-lainnya, unsur-unsur a,b,c, ada. Unsur-unsur tersebut
merupakan factor-faktor yang dipunyai bidang-bidang kehidupan tadi secara umum.
Factor-faktor social tadi itu yang diselidiki oleh sosiologi. Hal ini bukan
berarti bahwa sosiologi merupakan dasar ilmu social atau bahwa sosiologi
merupakan ilmu social yang umum, tetapi sosiologi menyelidiki factor-faktor social
dalam bidang kehidupan apa pun juga. Pusat perhatian sosiologi mungkin bersifat
khusus, sebagaimana halnya setiap ilmu pengetahuan, tetapi lapangan
penyelidikannya bersifat umum yakni kehidupan bersama manusia
Sebagai kesimpulan, sosiologi adalah ilmu social
yang kategoris, murni, abstrak, berusaha mencari pengertian-pengertian umum,
rasional dan empiris, serta bersifat umum.
1.2.
Objek Sosiologi
Sebagaimana
halnya dengan ilmu-ilmu social lainnya, objek sosiologi adalah masyarakat yang
dilihat dari sudut hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan
manusia di dalam masyarakat. Agak sukar untuk memberikan suatu batasan tentang
masyarakat karena istilah masyarakat telalu banyak mencakup pelbagai factor
sehingga kalaupun diberikan suatu definisi yang berusaha mencakup
keseluruhannya, masih ada juga yang tidak memenuhi unsur-unsurnya.
Beberapa orang
sarjana telah mencoba untuk memberikan definisi masyarakat seperti berikut :
a. Maclver
dan Page mengatakan bahwa : Masyarakat ialah suatu system dari kebiasaan dan
tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan
penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan manusia.
Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat
merupakan jalinan hubungan social. Dan masyarakat selalu berubah.
b. Ralph
Linton. Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan
bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan
menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan social dengan batas-batas yang
dirumuskan dengan jelas.
c. Selo
Soemardjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama,
yang menghasilkan kebudayaan.
1.3.
Metode-metode dalam Sosiologi
1. Metode
Kualitatif
Metode
kualitatif mengutamakan bahan yang sukar dapat diukur dengan angka-angka atau
dengan ukuran-ukuran lain yang bersifat eksak, walaupun bahan-bahan tersebut
terdapat dengan nyata di dalam masyarakat. Di dalam metode kualitatif termasuk
metode historis dan metode komparatif, keduanya dikombinasikan menjadi
historis-komparatif. Metode historis menggunakan analisis atas
peristiwa-peristiwa dalam masa silam untuk merumuskan prinsip-prinsip umum.
2. Metode
komparatif
Metode
komparatif mementingkan perbandingan antara bermacam-macam masyarakat beserta
bidang-bidangnya untuk memperoleh perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan
serta sebab-sebabnya. Perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan tersebut
bertujuan untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk mengenai perilaku masyarakat pada
masa silam dan masa sekarang, dan juga mengenai masyarakat-masyarakat yang
mempunyai tingkat peradaban yang berbeda atau yang sama.
3. Metode
study kasus (case study)
Metode
study kasus (case study) bertujuan untuk mempelajari sedalam-dalamnya salah
satu gejala nyata salam kehidupan masyarakat. Study kasus dapat digunakan
menelaah suatu keadaan, kelompok, masyarakat setempat (community)
lembaga-lemaga maupun individu-individu. Alat-alat yang dipergunakan oleh
metode study kasus adalah misalnya wawancara (interview), pertanyaan-pertanyaan
(questionnaires), dari daftar pertanyaan-pertanyaan (schedules), participant
observer technique, dan lain-lain.
4. Metode
kuantitatif
Metode
kuantitatif mengutamakan bahan-bahan keterangan dengan angka-angka, sehingga
gejala-gejala yang diteliti dapat diukur dengan mempergunakan skala-skala,
indeks, tabel, dan formula-formula yang semuanya mempergunakan ilmu pasti atau
metematika. Metode yang termasuk jenis metode kuantitatif adalah metode
statistik yang bertujuan menelaah gejala-gejala social secara matematis.
Akhir-akhir ini dihasilkan suatu teknik yang dinamakan sociometry yang berusaha
meneliti masyarakat secara kuantitatif. Sociometry mempergunakan skala-skala
dan angka-angka unuk mempelajari hubungan-hubungan antarmanusia dalam
masyarakat.
2.
Hukum
2.1.
Definisi Hukum
Hukum
adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan. Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi
dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam
hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana,
hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam
konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan
hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di
mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau
kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur
persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan
lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa
"Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan
peraturan tirani yang merajalela."
2.2.
Tatanan Hukum
Bilamana
kita berbicara tentang hokum dalam arti luas, maka kita dapat mengartikan hal
ini paling baik dengan istilah Tatanan Hukum (Schuts,1981: 12). Tatanan Hukum
ini meliputi tiga unsure yang akan diuraikan di bawah ini.
a.
Tatanan pengertian (Definisi) ini
meliputi himpunan norma-norma dan aturan-aturan yang berkaitan dengan hokum.
b.
Semua keputusan dan tindakan yang
diambil dan terlaksana dalam Tatanan Hukum itu.
c.
Organisasi-oganisasi dan
institusi-institusi yang memainkan peranan di dalam organisasi-organisasi itu,
seperti, hakim-hakim, anggota-anggota parlemen, advokat-advokat,
anggota-anggota kepolisian dan pejabat-pejabat Negara lainnya.
Sebagaimana dalam suatu agama dikenal
adanya Tatanan Pengertian, Tatanan Hukum pun demikian dan yang di dalamnya
ditetapkan semua norma dan aturan. Aturan-aturan dan asas-asas dalam hokum ini
tidak lahir begitu saja atau hasil serta merta pemikiran manusia.Namun,
aturan-aturan hokum ini berkaitan erat dengan norma-norma dan nilai-nilai (non
hokum) serta pendapat-pendapat, yang berlaku dalam masyarakat mengenai
persoalan-persoalan tentang baik dan buruk.
2.3.
Maksud dan Tujuan Tatanan Hukum
Tidak
jarang pula kita lihat di dalam literature, maksud dan tujuan tersebut
dirumuskan sedemikian rupa, sehingga pengetian hukum muncul kembali dalam
uraian maksud dan tujuan tersebut.
-
Misalnya : tujuan hukum ialah memberikan
perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan hukum orang-orang dalam
masyarakat.
-
Atau : tujuan hukum adalah
mempertahankan ketertiban hokum. Dengan formulasi-formulasi seperti ini
nampaknya tidak banyak yang kita capai, satu dan lain kita bakal terjebak dalam
cara berfikir bolak-balik (Schuyt, 1981: 18).
Nah apa
yang dapat kita lakukan ialah merumuskan tujuan hokum ini dalam istilah-istilah
non yuridis. Menurut Schuyt (1981) kita dapat membedakan tujuan-tujuan hokum
sebagai berikut :
a. Penyelenggaraan
ketertiban social dalam masyarakat;
b. Mendorong
penyelesaian sengketa tanpa kekerasan;
c. Menjamin
adanya pengembangan individu dan otonomi warganegara-warganegara;
d. Penyelenggaraan
pembagian seadil-adilnya barang-barang langka dalam pergaulan;
e. Membuka
jalan bagi perubahan social.
Di
dalam tujuan-tujuan ini kita mengenal kembali problema-problema, yang sejak
dulu juga dipelajari dan diulas oleh sosiologi.
a. Hukum
berikhtiar meningkatkan ketertiban social pergaulan hidup. Problematic ini
telah kita lihat terutama dalam Bab III, yang didalamnya telah kita kaji
permasalahannya yang dituturkan Durkheim perihal Kohesi Sosial dan Integrasi
Kemasyarakatan.
b. Tujuan
Kedua dari hukum, yakni menstimulasi penyelesaian sengketa tanpa kekerasan,
kita jumpai kembali dalam Sosiologi terutama dalam teori Hobbes dan Weber, yang
berkaitan dengan penyerahan monopoli kekerasan kepada Negara.
c. Tujuan
ketiga dari hukum, yakni menjamin adanya pengembangan individu dan otonomi
warganegara, juga merupakan problema yang mendapatkan perhatian semua sosiolog.
Untuk ini ingat akan cita-cita Marx dan Weber.
d. Tujuan
keempat dari hukum dan tujuan kelima hukum, yakni :
1.
Penyelenggaraan pemagian seadil-adilnya
barang-barang langka dalam pergaulan hidup; dan
2.
Membuka jalan bagi perubahan social
adalah pula masalah-masalah yang terutama diteliti oleh Weber dan Marx.
Jadi,
di sini kita lihat bahwa baik sosiologi mau pun hukum menyibukkan diri dengan
inti, bahkan pokok permasalahan yang sama. Yang berbeda disini adalah cara
pendekatan dan penyelesaian permasalahan-permasalahannya saja. Malahan
bersamaan dengan itu jelas disini, bahwa pendekatan-pendekatan yang beraneka
ragam tersebut dapat saling mengisi dengan baik.
Dirumuskan
lain: kebanyakan maksud dan tujuan ini terkadang tidak tercapai dan jika
hal-hal ini dicapai maka hasilnya pada umumnya mengandung karakter sebuah
kompromis antara berbagai partai politik yang ada.
2.4 Fungsi
Hukum
1)
Hukum
sebagai Sarana Pengendalian Sosial
Selain
hukum sebagai pedoman tingkah laku, hukum juga dianggap berfungsi sebagai salah
satu sarana pengendalian social (social control). Pengendalian social ini
menurut E.A. Ross, mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta
memelihara ikatan social. Dalam hal ini hukum adalah suatu sarana pemaksa yang
melindungi warga masyarakat dari ancaman-ancaman maupun perbuatan-perbuatan
yang membahayakan diri serta harta bendanya. Hukum sebagai sarana control
social berguna untuk mempertahankan ketertiban yang sudah ada. Dalam hal ini
pengendalian social (control social) tersebut, maka hukum juga berfungsi
sebagai pegangan dalam pengendalian social.
2)
Hukum
sebagai Sarana Rekayasa Sosial
Seidman
(dalam Rahardjo, 1977:65) mengatakan bahwa “To promote economic development,
governments must rely upon the law, for the legal order is the filter through
which policy becomes practice”. Di sini hukum dilihat sebagai suatu alat atau
sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik Negara, tujuan-tujuan praktis
(social engineering by law). Dalam “social engineering” (rekayasa social) yang
menjadi pokok persoalan adalah: bagaimana kita menggerakkan tingkah laku
anggota masyarakat atau mencapai keadaan yang diinginkan melalui hukum. “social
engineering” hanya merupakan bagian dari pada usaha pembangunan. Selain hukum
dinamakan “a tool of social engineering”, hukum disebut pula sebagai “social
planning”.
Namun
perlu disadari bahwa hukum juga dapat mengakibatkan situasi sebaliknya. Robert
K. Merton (Ritzer, 1985) misalnya, menyatakan bahwa suatu pranata atau
institusi tertentu dapat fungsional bagi suatu unit social tertentu dan
sebaliknya disfungsional bagi unit social yang lain. Misalnya pranata
perbudakan itu fungsional bagi unit social kulit puti dan dis-fungsional bagi
unit orang negro. Pranata perbudakan untuk meningkatkan produktivitas di
amerika serikat again selatan. Ini artinya bahwa pranata perbudakan mempunyai
fungsi manifest (fungsi yang diharapakan), yakni untuk meningkatkan
produktivitas. Sebaliknya bagi orang negro itu merupakan pranata perbudakan
merupakan fungsi laten (fungsi yang tidak diharapkan), yakni memberikan
menyediakan kelas rendah untuk meningkatkan status social orang kulit putih.
Jadi,
hukum sebagai pranata social mempunyai fungsi manifest (yang diharapkan), yakni
bahwa akibat yang timbul oleh bekerjanya peraturan hukum memang dikehendaki.
Dengan demikian, sebenarnya hukum dapat pula dikatakan sebagai alat atau sarana
untuk mengubah masyarakat.
3)
Hukum
sebagai Sarana Pengintegrasian
Hukum
dapat pula untuk mengintegrasikan anggota-anggota masyarakat yang berbeda latar
belakangnya. Masyarakat Indonesia yang pluralistis, yang meliputi sejumlah
masyarakat yang telah lama ada sebelum kemerdekaan, yang masing-masing memiliki
pranata-pranata social yang berbeda, terintegrasi antara lain karena masyarakat
Indonesia menerima UUD 1945 sebagai suatu peraturan untuk hidup berbangsa dan
bernegara.
Dalam
proses integrasi bangsa, pembentukan dan pembinaan hukum nasional memerlukan
kesadaran mengenai adanya dua kutub (Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
Depdikbud, 1986): (1) satu pihak undang-undang yang menjadi bagian dari hukum
nasional itu harus memberi perasaan bukan asing bagi golongan-golongan dalam
masyarakat dan mereka harus dapat merasakan bahwa nilai-nilai yang mereka anut
tetap dilindungi atau tidak terancam dalam hukum nasional tersebut; dipihak
lain (2) undang-undang itu harus mempunyai dampak yang menyuburkan iklim bagi
pembinaan integrasi bangsa. Ini berarti bahwa berbagai golongan dalam
masyarakat tetap mempunyai perasaan bahwa mereka memiliki perasaan
“terintegrasi” dalam masyarakat bangsa, dan dengan demikian undang-undang itu
mampu memperkuat perasaan “terikat” pada satuan nasional di kalangan berbagai
golongan tersebut.
Undang-undang
yang sudah baik, masih memerlukan penerapan yang mampu meningkatkan
perasaan-perasaan semakin terikatnya warga masyarakat kepada semangat
kebangsaan, dan semakin bangganya warga masyarakat atas system hukum dn
penerapannya. Dalam hal ini, petugas-petugas yang diserahi tanggungjawab
penegak hukum dan pemegang jabatan pada badan-badan peradilan merupakan
tokoh-tokoh yang berada digaris depan yang langsung berhubungan dengan para
warga masyarakat, sehingga sangat perlu untuk terus-menerus menjadikan mereka
mampu berfungsi sebagai lambang dari suatu system hukum yang menghendaki
keikutsertaan yang semakin positif yang pada akhirnya akan meningkatkan
integrasi bangsa.
3. Sosiologi
Hukum
3.1. Definisi Sosiologi Hukum
Istilah sosiologi hukum untuk
pertama kalinya diperkenalkan oleh Anzilotti (orang Italia) pada tahun 1882”
(Soekanto, 1993:13). Sosiologi hukum mengkaji pengaruh timbal balik antara
hukum dengan gejala social lainnya (Salman, 1985; Soekanto, 1993:11). Sosiologi
hukum mengkaji hukum mengkaji hukum dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat : law as it is observed in the daily life in society
(wignjosoebroto,1994). Dalam hubungannya dengan sesama, anggota masyarakat
berpedoman pada kaidah-kaidah yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Kaidah tersebut dapat sesuai dengan aturan tertulis (hukum positif) dan dapat
pula tidak. Karena itu, sosiologi hukum mempunyai fungsi untuk mengkaji apakah
hukum dan peraturan perundang-undangan berfungsi dalam masyarakat (Soekanto,
1993:18). Dengan kata lain, sosiologi hukum merupakan studi terhadap hukum yang
tertuju pada masalah efektivitas hukum maupun akibat-akibat yang tidak
diperhitungkan dalam proses legislasi (lihat Soekanto, 1993:24).
Berikut
adalah beberapa pengertian sosiologi hukum yang dikutip oleh Soekanto (1993):
1) Sosiologi
hukum merupakan suatu disiplin teoritis dan umum, yang mempelajari keteraturan
dan berfungsinya hukum. Tujuan utama dari sosiologi hukum adalah untuk
menyajikan sebanyak mungkin kondisi-kondisi yang diperlukan agar hukum dapat
berlaku secara efisien (Adam Podgorecki);
2) Sosiologi
hukum merupakan kegiatan-kegiatan ilmiah untuk menemukan kondisi-kondisi social
yang sesuai atau pun tidak sesuai dengan hukum, serta cara-cara untuk
menyesuaikannya (Selznick);
3) Pusat
perhatian sosiologi hukum adalah pengembangan suatu teori umum tentang hukum,
yang membahas semua jenis pengendalian social yang dilakukan oleh pemerintah.
Teori harus membahas hubungan antara hukum dengan lain-lain aspek kehidupan
social, seperti misalnya, stratifikasi, lain-lain bentuk pengendalian social,
pembagian kerja, integrasi social, dan seterusnya (Black).
Soekanto
(1993:24) mengatakan bahwa study terhadap hukum haruslah tertuju pada masalah
efektivitas hukum maupun akibat-akibat yang tidak diperhitungkan dalam proses
legislasi. Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi hukum berkembang atas dasar
suatu anggapan bahwa proses hukum berlangsung didalam suatu jaringan atau
system social yang dinamakan masyarakat. Artinya, hukum hanya dapat dipahami
dengan jalan memahami system social terlebih dahulu dan hukum merupakan suatu
proses.
3.2. Kegunaan Sosiologi Hukum
·
Sosiologi hukum berguna untuk memberikan
kemampuan-kemapuan bagi pemahaman terhadap hukum dalam konteks social
·
Penggunaan konsep-konsep sosiologi hukum
dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektifitas hukum
dalam masyarakat.
·
Sosiologi hukum memberikan kemampuan
untuk mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum di dalam masyarakat.
3.3. Masalah-masalah yang disoroti Sosiologi Hukum
·
Hukum dan system social masyarakat
System hukum merupakan pencerminan dari
system social di mana system hukum tadi merupakan bagiannya. Sejauhmanakah
proses pengaruh mempengaruhi antara system social dengan system hukum sebagai
subsistemnya bersifat timbale balik.
·
Persamaan dan perbedaan sistem-sistem hukum
Agar dapat diketahui adanya konsep-konsep
hukum yang universal, dengan mencari persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaan
dari system hukum yang berlaku di berbagai masyarakat yang berbeda-beda.
·
Sifat System hukum yang dualistis
Hukum merupakan suatu kaidah yang berisi
ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban manusia dalam kehidupan
bermasyarakat. Namun disisi lain hukum juga merupakan alat yang ampuh untuk
mempertahankan kedudukan social ekonomi dari sebagian kecil anggota masyarakat
(penguasa).
·
Hukum dan Kekuasaan
Ditinjau dari sudut ilmu politik, maka
hukum merupakan sarana dari elit yang memegang kekuasaan dan sedikit banyaknya
dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, atau untuk menambah
serta mengembangkannya.
·
Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya
Hukum sebagai kaidah atau norma social
tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hukum
merupakan suatu pencerminan dan konkritisasi dari nilai-nilai yang pada suatu
saat berlaku dalam masyarakat.
·
Kepastian Hukum dan Kesebandingan
Kepastian hukum dan kesebandingan merupakan
dua tugas pokok dari hukum. Sering kedua tugas tersebut tidak dapat ditetapkan
secara merata. Max Weber membedakan substantive rationality dengan formal
rationality untuk kepastian hukum dengan kesebandingan.
·
Peranan hukum sebagai alat untuk mengubah
masyarakat, peranan pengadilan, efek suatu peraturan perundang-undangan dalam
masyarakat, tertinggalnya hukum di
belakang perubahan social masyarakat, difusi hukum dan pelembagaannya, hubungan
antara para penegak hukum, masalah keadilan.
4. Pendekatan
Sosiologi terhadap Hukum
4.1. Tiga Pilihan cara dalam
Hukum
1)
Kajian Normatif (analitis-dogmatis)
Kajian ini memandang hukum dalam wujudnya
sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan. Kajian ini sifatnya preskriptif,
menentukan apa yang salah dan apa yang benar. Kajian normatif terhadap
hukum dilakukan antara lain pada ilmu hukum pidana positif, hukum tata negara
positif, dan hukum perdata positif. Dengan kata lain, kajian ini lebih
mencerminkan law in books. Dunianya adalah
das sollen, apa yang seharusnya.
Kajian hukum normatif ini lebih ditekankan
pada norma-norma yang berlaku pada saat itu atau norma yang dinyatakan dalam
undang-undang. Metode yang digunakan untuk penelitian terhadap kajian ini
adalah metode yuridis-normatif. Kajian
normatif ini merupakan kajian yang sangat menentukan puncak perkembangan hukum
sejak abad ke-19. Pada waktu itu, sebagai akibat kemajuan teknologi, industri,
perdagangan dan transportasi, terjadilah kekosongan besar dalam perdagangan. Berdasarkan
kekosongan tersebut, hukum memberikan respon yang sangat masif dan melahirkan
suatu orde baru dalam tatanan yang tidak ada tandingannya. Hal inilah yang
membuat metode-metode kajian hukum menjadi sangat normatif, positivistik, dan legalistik.
Menurut Satjipto Rahardjo, metode normatif
ini didasarkan pada hal di bawah ini.
1)
Ada penerimaan hukum positif sebagai
suatu yang harus dijalankan
2)
Hukum dipakai sebagai sarana
penyelesaian persoalan (problem solving
device)
3)
Partisipasi sebagai subjek yang memihak
hukum positif
4)
Sikap menilai atau menghakimi anggota
masyarakat, berdasarkan hukum positif.
Kajian normatif terhadap hukum ini dapat
dilihat dari hal-hal berikut, yaitu adanya infentarisasi hukum positif,
penelitian asas hukum, menemukan hukum konkrit, adanya sistematika hukum,
adanya sinkronisasi dan harmonisasi, perbandingan hukum serta sejarah hukum.
2) Kajian filosofis (Metode
Transendental)
Kajian ini lebih menitikberatkan pada
seperangkat nilai-nilai ideal,yang seyoganya senantiasa menjadi rujukan dalam
setaip pembentukan, pengaturan, dan pelaksanaan kaidah hukum. Kajian ini lebih
diperankan oleh kajian filsafat hukum, atau law
in ideas. Kajian filosofis ada dalam kajian hukum, karena studi hukum
dimulai tidak sebagai disiplin yang sifatnya otonom, melainkan sebagai bagian
dari studi filsafat. Studi filsafat hukum ini telah berumur lebih dari ribuan
tahun. Kehadiran yang amat dini tersebut disebabkan oleh eksistensi dari
tatanan itu sendiri. Tatanan merupakan isi lain dari kehidupan bersama manusia,
sebab manusia adalah makhluk tatanan.
Filsafat hukum memusatkan perhatiannya
kepada pertanyaan-pertanyaan filosofis dari hukum. Mempersoalkan hukum dan
keadilan, hukum dan kebebasan, hukum dan kekuasaan. (mengenai teori hukum).
Pengembangan filsafat hukum mencakup seperti di bawah ini.
1)
Ontologi hukum merefleksikan hakikat
hukum dan konsep-konsep fundamental terkait, yaitu demokrasi, hubungan hukum
dengan orang.
2)
Akseologi hukum merefleksikan isi dan
nilai yang termuat dalam hukum, yaitu kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasab
dan kebenaran.
3)
Ideologi hukum, yang merefleksikan
wawasan manusia dan masyarakat yang melegimitasi hukum.
4)
Epistemologi hukum, yang merefleksikan
sejauh mana pengetahuan tentang hukum dapat dijalankan.
5)
Teleologi hukum, yang merefleksikan
makna serta tujuan dari hukum.
6)
Ajaran ilmu, yang merefleksikan kriteria
keilmuaan ilmu hukum.
7)
Logika hukum, yang merefleksikan aturan
berfikir dalam hukum.
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa filsafat
hukum adalah bagian dari filsafat umum. Oleh karena itu, setiap uraian
tentang arti (definisi) dari filsafat sudah tidak mengandaikan suatu titik
tolak kefilsafatan, maka untuk mengetahui filsafat hukum, kita harus mengetahui
terlebih dahulu filsafat secara umum.
Tujuan
utama kajian filosofis ini adalah ingin memahami secara mendalam hakikat dari
hukum. Ini bararti, filsafat hukum ingin memahami hukum sebagai tampilan atau
menifestasi dari suatu asas yang melandasinya. Karna itu, filsafat hukum,
mengadaikan teori pengetahuan (epistemology)
dan etika.
3)
Kajian
Empiris
Kajian ini memandang hukum sebagai
kenyataan yang mencakup kenyataan social, kultur. Kajian ini bersifat deskriptif. Jika dilihat dari peralihan
zaman dari abad ke-19 ke abad ke-20, metode empiris ini lahir disebabkan karena
metode atau kajian hukum secara normative, tidak lagi mendapat tempat.
Pendekatan hukum melalui kajian empiris yang lahir di awal abad ke-20 ini bersamaan
lahirnya dengan ilmu baru yang oleh A. Comte (1798-1857) diberi nama sosiologi.
Olehnya, sosiologi disebut sebagai ilmu tentang tatanan social dan kemajuan
social.
Ketiga pendekatan terhadap hukum itu,
merupakan langkah awal bagi kita (hamba hukum) untuk memahami apakah hukum itu?
Berlainan dengan tiga pendekatan itu, namun masih memiliki karakteristik yang sama, Achmad Ali dalam pidatonya ketika
menerima jabatan guru besar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
memberikan suatu pencerahan terhadap pendekatan hukum sebagai berikut.
Pertama,
beggriffenwissenchaft adalah ilmu tentang asas-asas yang fundamental di
bidang hukum, termasuk di dalamnya mata kuliah pengantar ilmu hukum, filsafat
hukum, logika hukum, dan teori hukum. Kedua,
Normwissenchaft adalah ilmu tentang norma, termasuk didalamnya adalah
sebagian besar mata kuliah yang diajarkan fakultas-fakultas hukum di Indonesia,
seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Hukum Tata Negara. Ketiga, Tatsachenwissenchaft adalah tentang kenyataan hukum,
termasuk di dalamnya Sosiologi Hukum, Hukum & Masyarakat, Antropologi Hukum
dan Psikologi Hukum.
Dari berbagai macam pendekatan terhadap
hukum tersebut di atas, hukum dapat dapat ditafsirkan sebagai sebuah konsep.
Soetandyo Wigjosoebroto, mengatakan tak
ada konsep yang tunggal mengenai apa yang disebut dengan hukum itu. Menurut
pendapatnya, dalam sejarah pengkajian hukum, tercatat sekurang-kurangnya ada
tiga konsep. Pertama, hukum
dikonsepkan sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal
dan menjadi bagian inheren system hukum alam. Kedua, hukum dikonsepkan sebagai kaidah-kaidah positif yang berlaku
pada suatu waktu dan tempat tertentu, sebagai produk eksplisit suatu sumber
kekuasan politik tertentu yang berlegitimasi. Ketiga, hukum dikonsepkan sebagai institusi social yang riil dan
fungsional dalam system kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini hukum berperan
dalam proses pemulihan ketertiban, penyelesaian sengketa, maupun dalam proses
pengarahan dan pembentukan pola-pola perilaku yang baru.
4.2. Menuju Pendekatan
Sosiologi terhadap Hukum
Abad
ke-19 ditandai dengan munculnya gerakan positivisme dalam ilmu hukum. Abad
tersebut menerima warisan pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat
idealitis. Perkembangan dan perubahan yang terjadi pada abad ke-19 tersebut,
telah menimbulkan semangat serta sikap kritis terhadap masalah-masalah yang
tengah dihadapi. Kita mengetahui bahwa pada abad ini suatu tradisi ilmu baru
telah berkembang. Ilmu ini nantinya akan mampu membuka cakrawala baru dalam
sejarah umat manusia, yang semula seperti terselubung oleh cara-cara pemahaman
tradisional.
Pengaruh-pengaruh
dari perubahan abad ke-19 menurut Satjipto Rahardjo, telah memberikan pengaruh
terhadap cara-cara pendekatan terhadap hukum yang selama itu dipakai. Aliran
sejarah telah mulai menarik perhatian orang dari analisis hukum yang abstrak
dan ideology kepada lingkungan social yang membentuk hukumnya. Pendekatan hukum
pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah mulai mendekatkan diri pada
hukum dengan masyarakat.
Perubahan
abad ke-19 tersebut, memiliki pengaruh yang sangat penting bagi munculnya
sosiologi hukum. Misalnya, industrialisasi yang berkelanjutan melontarkan
persoalan sosiologisnya sendiri, seperti urbanisasi dan gerakan demokrasi juga
menata kembali masyarakat sesuai dengan prinsip kehidupan demokrasi. Kemapanan
kehidupan pada abad ke-19 yang penuh dengan kemajuan di banyak bidang bukanlah
akhir atau puncak peradaban manusia. Pada abad ini kodifikasi bukanlah akhir
dari perkembangan kehidupan hukum.
Sosiologi
hukum, merupakan suatu disiplin ilmu yang sangat muda dan merupakan cabang
sosiologi terpenting, yang sampai sekarang masih dicari perumusannya. Hingga
saat ini, sosiologi hukum masih mempunyai batasan-batasan yang belum jelas,
ahli-ahlinya belum mempunyai kesepakatan mengenai pokok persoalan tentang apa
itu sosiologi hukum. Apa yang menyebabkan ilmu baru ini terhambat
perkembangannya. Menurut penulis, karena ilmu baru ini, dalam mempertahankan
hidupnya, harus bertempur di dua front. Sosiologi hukum menghadapi dua
kekuatan, yakni dari kalangan para ahli hukum dan ahli sosiologi, yang
terkadang keduanya bersatu untuk menggugat keabsahan sosiologi sebagai disiplin
yang berdiri sendiri. Perselisihan ini timbul, seperti yang telah dijelaskan
oleh David N. Schiif, yang mengutip dari Aubert.
4.3.
Pemikiran Hukum secara Sosiologis
Bertolak
dari titik pandang praktisi hukum, telah terjadi perubahan-perubahan yang cepat
semenjak perang dunia II. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh hal
dibawah ini.
1.
Profesi hukum, terutama para pengacara,
ruang lingkup kerjanya kini semakin luas. Hal itu disebabkan karena pihak-pihak
yang memerlukan pelayanan hukum semakin membesar jumlahnya, meliputi semua
lapisan masyarakat (misalnya dengan bidang-bidang bentuan hukum).
2.
Hukum, yang bagi kebanyakan orang, tidak
lebih daripada sekumpulan undang-undang atau peraturan-peraturan, kini telah
berkembang menjadi suatu ilmu yang dirasakan baru karena ilmu hukum kini telah
dikembangkan menjadi lebih sistematis serta memiliki teknik penelitian,
penelaahan dan pemahaman yang luas dan lebih rumit.
Sebagai akibat dari perkembangan tersebut, para ahli
hukum akan bertemu dengan sejumlah permasalahan yang menuntut suatu cara
analisis yang jauh berbeda dengan cara-cara pendekatan tradisional. Dengan
terciptanya beberapa hak tertentu dari beberapa kelompok, khusunya dalam
masyarakat, hukum akan berkaitan erat dengan masalah-masalah hubungan antar
bangsa, dengan konsumen, dengan keluarga, bersama-sama dengan meningkatkan
intervensi (ikut campurnya) pemerintah di dalam pengaturan tata kehidupan.
Semuanya itu akan mendorong timbulnya suatu kesadaran diantara para ahli hukum
( kesadaran ini kenyataannya muncul dari berbagai variasi dan tingkatan)
terhadap kelemahan-kelemahan atau kekurangan yang ada dalam
pelayanan-pelayanan, atau kekurangan yang diberikan oleh ilmu hukum
tradisional.
Hal tersebut di atas sudah lama dirasakan melalui
pembentukan hukum, peradilan, penyelenggaraan keamanan, dan ketertiban serta
peraturannya, yang sangat mudah dipisahkan dari realitas social dan dari
prinsip keadilan itu sendiri. Kebangkitan itu muncul dari refleksi di kalangan
akademik, yang mengatakan bahwa prespektif dan metosa studi ilmu social berlaku
juga untuk menganalisis institusi hukum.
Dalam kehidupan yang mulai banyak mengalami
perubahan yang sangat cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak dapat
berfungsi efektif untuk menata perubahan dan perkembagannya. Tak ayal lagi,
berbagai cabang ilmu-ilmu social, khususnya sosiologi, yang akhir-akhir ini
mulai banyak mengkaji dan meneliti sebab perubahan-perubahan social, dipanggil
untuk ikut menyelesaikan berbagai masalah dan perubahan social yang amat
relevan dengan permasalahan hukum.
Hukum yang dikonsepkan secara sosiologis ini dapat
dijadikan objek penelitian saintikfik (non-doktrinal). Hukum tidak lagi
dijadikan penggarap untuk menyususn system normatif yang koheren belaka, dengan
premis-premis yang diperoleh dari bahan-bahan, atau dari sumber-sumber yang
ranahnya normatif.
Ciri metode yang sangat jelas dalam penelitian
non-doktrinal adalah menggunakan peran logika induksi untuk menemukan asas-asas
umum dan teori-teori , melalui silogisme. Dalam silogisme induksi ini,
premis-premis, selalu berupa hasil pengamatan yang diverifikasi. Di sinilah
letak perbedaan model penelitian ini dengan model penelitian doktrinal yang
dikerjakan oleh para filsuf-moralis ataupun teoritis-positivis untuk menemukan
asas-asas umum hukum positif. Panelitian-penelitian doctrinal semacam ini
selalu bertolak secara deduktif dari norma-norma yang kebenarannya bernilai
formal dan tidak berasal dari hasil pengamatan yang kebenaran materialnya
selalu dipersoalkan dan diverifikasi. Silogisme induksi digunakan untuk
memperoleh simpulan-simpulan deskriptif atau eksplanatif tentang ada atau
tidaknya hubungan antara berbagai variable social-hukum. Inilah pemikiran
secara sosiologis.
Lain halnya apabila kita melihat cara berfikir
seorang filosofis. Dalam berpikir, ia akan selalu mempertanyakan yang berkaitan
dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Cara berfikir sosiologis akan
memiliki cara pemahaman yang berbeda dengan cara berfikir orang awam dan
seorang filosofis.
Fakta social yang ditangkap oleh seorang sosiolog
akan dipertanyakan eksistensinya dalam masyarakat dan diamati kecenderungannya.
Sosiolog tidak akan mempertanyakan nilai-nilai kebaikan tetapi melihatnya
sebagai objek studi. Sosiolog akan mempertanyakan bagaimanakah mekanisme
sosialnya sehingga nilai-nilai kebaikan dapat dipelihara dan kemudian mempertanyakan
bagaimana persepsi masyarakat tentang nilai-nilai tersebut?
4.4. Hukum dan Basis
Sosialnya
Para
ahli hukum yang membicarakan tentang basis social hukum adalah para sosiolog
hukum, yang mengembangkan sosiologi hukumnya antara tahun 80-90-an hingga sekarang.
Dalam perkembangannya tersebut, mereka dipengaruhi oleh talcoot parson dengan
pemikiran postmodernismenya.
Yang
menjadi perhatian para ahli sosiologi hukum dalam membicarakan basis social
hukum adalah pertautan secara sistematis antara hukum dengan struktur social
yang mendukung. Mereka menganalisis bagaimana hukum yang berlaku dalam
masyarakat itu cocok atau terjalin ke dalam jaringan interaksi social.
Apabila
hukum tidak ingin dikatakan tertinggal dari perkembangan masyarakat, hukum
dituntut untuk merespon segala seluk-beluk kehidupan social yang melingkupinya.
Itu berarti peranan hukum menjadi semakin penting dalam menghadapi
problema-problema social yang timbul. Tidak cukup bila hukum hanya dipahami
secara yuridis-nprmatif, yakni sebagai tertib logis dari tatanan peraturan yang
berlaku. Hukum juga perlu diberi ruang untuk maksud studi-studi deskriptif dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu social.
No comments:
Post a Comment